English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sabtu, 07 Januari 2012

Bukalah Tirai Ghaib Dengan Zuhud

Inilah cerita Hanzhalah bin Al-Kalib, salah seorang penulis / sekretaris Gusti Kanjeng Nabi Muhammad shollallaahu alaihi wa sallam : Kami sedang bersama Nabi shollallaahu alaihi wa sallam. Beliau mengingatkan kepada kami tentang surga dan neraka. (Begitu jelasnya) sehingga seakan-akan aku melihatnya di depan mata kepalaku sendiri. Tetapi ketika aku kembali ke keluargaku dan kepada anak-anakku, aku tertawa dan bergembira. Segera aku teringat apa yang terjadi bersama Nabi shollallaahu alaihi wa sallam. Aku keluar dan berjumpa dengan Abu Bakar. “Aku munafik”. Abu Bakar bertanya, “Mengapa begitu ?”  Aku bersama Nabi shollallaahu alaihi wa sallam. Beliau mengingatkan kami tentang surga dan neraka, seakan-akan aku melihatnya. Ketika aku meninggalkan Nabi, bercengkrama dengan isteriku, anak dan urusan dunia lainnya, lupalah aku dengan apa yang disampaikan Nabi.” Abu bakar berkata : “Kamipun seperti itu”. Aku mendatangi Nabi dan menyampaikan apa yang terjadi. Nabi bersabda : “Wahai Hanzhalah, seandainya kamu di tengah keluargamu sama seperti kamu bersamaku, malaikat akan bersalaman denganmu di tempat tidurmu dan di jalanan. Wahai Hanzhalah, sewaktu-waktu saja. Sa’atan sa’atan (maksudnya tersingkapnya tirai kegaiban tidak perlu setiap saat, sewaktu-waktu saja)” (Kanzul ‘Ummal, Hadits ke-1697).

Riwayat ini – bersama riwayat lain yang sejenis – ditulis dalam Bab Hasil Zuhud (Tsamarot Al Zuhd),  kitab Mizan Al-Hikmah 4 : 261.

Bila kita merasakan kehidupan akhirat dan tidak terpukau dengan kehidupan dunia, seperti yang dirasakan dan dialami sahabat Nabi, maka di hadapan kita akan ada malaikat yang menyertai kita. Tirai kegaiban akan disingkapkan, meski sedikit dan sesaat. Malaikat itu akan menyalami kita seraya berkata : “Kami akan melindungi kalian di dunia dan di akhirat” (lihat QS. 41 : 31). Subhanalloh. Alangkah indahnya pengalaman itu ! Kita percaya pada malaikat (rukun iman yang kedua). Tetapi tidak pernah menyaksikannya, tidak merasakan kehadirannya, apalagi memperoleh bantuannya.

Malaikat itu mahluk Alloh yang gaib, ada tetapi tidak terasa. Keterikatan kita pada dunia materi telah menyebabkan kita terlepas dari pengalaman gaib. Lingkungan kita terbatas pada apa yang dapat kita amati, yang dapat kita ukur, yang dekat dengan kita.

Salah satu buah zuhud adalah memperluas lingkungan kita. Zuhud membawa ruhani kita dari alam syahadah, nyata, ke alam yang gaib. Zuhud membawa kita bertemu dengan sahabat-sahabat “lain”, jauh lebih banyak dari sahabat-sahabat kita yang onggokan materi (baik yang jahat, culas, dengki maupun yang baik, sholeh dan pemurah). Dalam istilah sufi, zuhud mengantarkan ruhani kita ke alam mukasyafah.

Tetapi zuhud juga menghasilkan buah yang lain. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Tholib berkata : “Barang siapa yang zuhud dalam dunia dan tidak sedih karena (kehinaannya) dan tidak ambisius memperoleh kemuliaannya, Alloh memberinya petunjuk tanpa melewati mahluk-NYA. Dia akan mengajarinya ilmu tanpa dia  mempelajarinya. Alloh mengokohkan hikmah dalam hatinya dan mengeluarkan hikmah itu melalui lidahnya’” (al Bihar 78 : 63). Ali dalam nasehatnya ini menyebut, ilmu yang diberikan Alloh tanpa ia mempelajarinya. Para sufi menyebutnya ilmu laduni. Dalam Islam, Anda dapat memperoleh ilmu lewat pengamatan empiris (sains dan teknologi), lewat perenungan rasional (ilmu filsafat) atau melalui ajaran guru-guru Anda, seperti ilmu kalam, hadits, fiqh, membaca Al Qur’an. Semua itu pada hakikatnya adalah dari Alloh, tetapi dipelajari melalui guru/mahlukNYA.  Anda juga bisa memperoleh ilmu langsung dari Alloh Yang Maha Mengetahui. Alloh mengilhamkannya langsung ke dalam hati Anda. Dengan ilmu itulah seorang ibu merasakan anaknya dalam bahaya, tanpa seorang pun memberitahunya. Ilmu inilah yang mampu menjelaskan mengapa orang-orang yang tekun murroqobah kepada Alloh “bisa mengetahui suatu perkara sebelum diberitahu” (weruh sadurunge winarah). Dan di antara mereka yang memperoleh ilmu ini adalah orang yang zuhud pada dunia.

Kata Ali “Bila kalian zuhud, kalian akan dibebaskan dari penderitaan dunia dan memperoleh kebahagiaan yang kekal di akhirat” (Ghuror Al-Hikam).

Apakah Anda menderita hari ini ? Apakah hidup Anda terasa sempit, sesak, pedih dan menderita ? Apakah Anda gelisah memikirkan masalah, baik yang nyata urusan materi  maupun



imateri yang batiniyah ? Insya Alloh, Anda akan diselamatkan Alloh melalui pola hidup Zuhud.

Apa itu zuhud sebenarnya  ?


Zuhud : Pola Hidup Menjadi

Muhammad Al-Reyysyahri mengumpulkan banyak hadits yang menjelaskan kata zuhud (mizan Al Hikmah 4 : 250). Ibn Qoyyim Al-Jawziy membuat daftar defenisi zuhud dari para ulama (Madarij Al-Salikin 2 : 9-13). Tidak mungkin kita menguraikan semuanya.

Kata Ali bin Abi Tholib kata zuhud tersimpul dalam Al Qur’an sebagai “Supaya kamu tidak bersedih karena apa yang terlepas dari tanganmu dan supaya kamu tidak bangga dengan apa yang ada padamu” (QS. 57 : 23). Siapa yang tidak bersedih dengan apa yang tidak dimilikinya dan siapa yang tidak bersuka ria dengan apa yang dimilikinya, itulah zuhud.  Kita memperoleh dua karakeristik orang yang zuhud.

Pertama : “zahid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang dimilikinya”. Jaman akhir ini ditandai oleh karakteristik orang dengan pola hidup MEMILIKI dan pola hidup MENJADI. Bila Anda bahagia karena memiliki mobil, rumah bagus dan mewah, kedudukan basah, status sosial di masyarakat tinggi dan Anda sangat menderita sampai stress berat karena kehilangan atau berkurangnya sedikit saja dari apa yang Anda miliki, maka Anda tidah ubahnya anak kecil. Perhatikan anak kecil yang bahagia dan gembira saat petasan MILIKNYA meledak keras, padahal yang menyalakannya orang lain (bisa ayah atau kakaknya yang besar). Tetapi anak itu senangnya bukan main, karena yang meledak itu petasan miliknya.

Seorang pengusaha sukses merasa bahagia dengan vilanya di puncak. Di situ ada kolam renangnya, ada tamannya dan ada fasilitas mewah lainnya. Ia hanya tinggal di vila itu dua atau empat hari paling lama. Itupun tidak setahun sekali. Kalau pas  ia ingat dan ingin saja. Tetapi ia bangga dengan vilanya itu. Ia bahagia dengan “hanya memilikinya”. Padahal yang setiap hari menggunakan kolam renangnya, bermain di tamannya dan menggunakan fasilitas mewah lainnya adalah Mang Ujang, isteri


dan anak-anaknya yang ia percaya untuk menjaga dan memelihara vilanya. Kenikmatan si pengusaha ini, bukan pada penggunaannya tetapi pada memilikinya.

Syahdan, ada sepasang suami isteri yang sudah tua dan menikmati masa pensiunnya. Ia hanya memiliki anak laki-laki satu-satunya, itupun sudah meninggal karena sakit keras. Saat ia meninggal, petugas bank melakukan penyidikan atas tabungan dan bunganya yang mendekati angka satu milyar rupiah. Tentu saja saudara-saudara dan tetangganya kaget bukan kepalang. Karena selama hidupnya suami isetri itu sangat sederhana. Mengapa saat anaknya sakit suami isteri itu tidak segera membawa anaknya ke rumah sakit ? Mengapa mereka tidak kelihatan hidup mewah dan sebenarnya bukankah dengan uang sebesar itu mereka bisa melancong ke mana saja ? Atau mereka berpartisipasi dalam kegiatan sosial agar uangnya lebih bermakna dengan menyantuni anak-anak yang tidak mampu, mengapa tidak mereka lakukan ? Ya, mereka hanya menyimpan uang itu. Kenikmatan bagi mereka pada kepemilikan, bukan pada penggunaan. Inilah pola hidup MEMILIKI. Inilah lawan zuhud.

Zuhud adalah pola hidup MENJADI. Seorang zahid tidak memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan dari kepemilikan. Alangkah rendahnya apabila kehidupan digantungkan kepada benda mati yang hina dina. Alangkah rentannya kehidupan dengan berbagai persoalan, bila hati diletakan pada benda yang dimiliki. Anda begitu emosional saat mobil Anda tergores tukang becak sehingga saking emosinya Anda sampai menjatuhkan harga diri, martabat dan kehormatan diri sendiri. Anda bermuram durja saat keluarga dan sanak kerabat menjauhi Anda. Anda berpendirian, apabila seseorang atau sesuatu  tidak Anda miliki, Anda menderita kemalangan. Kebahagiaan Anda sangat ditentukan oleh apa-apa yang ada di luar diri Anda, bukan oleh diri Anda sendiri. Diri Anda adalah robot yang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya.

Seorang zahid bukanlah membuang semua yang telah dimilikinya, tetapi ia menggunakan semua yang dimilikinya untuk PERKEMBANGAN DIRINYA, sehingga dia menemukan “nilai kemanusiaannya” yang sejati. Kebahagian zahid bukan pada benda mati, tetapi menjadikan-benda mati itu untuk meningkatkan KUALITAS DIRI. Ia bahagia karena berhasil menjadi apa yang seharusnya menjadi.




Kedua : “Kebahagiaan seorang zahid tidak lagi terletak pada hal-hal yang bersifat material, tetapi pada hal-hal yang bersifat SPIRITUAL”.  Manusia, kata Sigmund Freud, menyenangi hal-hal yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan kepribadiannya. Pada masa kanak-kanak, manusia baru memandang kebahagiaan pada apa-apa yang dimasukan ke dalam mulutnya (Fase Oral). Ia bahagia sekali bila memasukan susu ibunya, memasukan jari-jari ke dalam mulutnya dan memasukan apa saja ke mulutnya. Masa kedua adalah fase anal. Manusia meletakan kebahagiaan pada apa-apa yang bisa dikeluarkan dari qubul dan dubur (kelamin dan anus). Jangan heran bila anak Anda pada masa ini sering betah berlama-lama di kamar mandi. Ketiga adalah fase genital. Manusia melewati masa senang sekali bermain-main dengan kelaminnya. Ia merasa nikmat dan bahagia.

Anda boleh tidak setuju dengan Freud. Tetapi yang ingin saya jelaskan adalah bahwa setiap diri manusia itu berkembang tingkat kebahagiaan dan kenikmatan hidupnya, sesuai dengan perkembangan jiwanya. Semakin dewasa manusia, ia akan semakin abstrak dalam memahami kebahagiaan. (maka, jika Anda masih senang pada hal yang bersifat kanak-kanak, makan ingin yang enak dan
 mudahnya saja dan senang bermain dengan alat kelamin Anda – jajan dengan perempuan nakal – sebenarnya diri Anda itu adalah anak-anak yang berbadan orang dewasa). Kebahagiaan abstrak itu bisa saja mendapatkan ilmu, beramal untuk akhirat atau memperoleh pengalaman ruhaniyyah.

Sekarang di manakah posisi Anda berada ? Jawabannya adalah lihat saja di mana terletak kebahagiaan Anda.


Zuhud : di Dunia tetapi Tidak Mendunia

Di manakah terletak kebahagiaan Anda ? Will Durant,  penulis buku terkenal The Story of Civilization, mencoba menjawab pertanyaan ini dengan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan dunia. Dengan tekun ia menelaah tulisan para filosof dan orang-orang bijak. Bertahun-tahun ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Sampai pada suatu ketika, dari “universitas kehidupan”, ia menyaksikan adegan agung dan sangat sulit dilupakan. Seorang laki-laki tentara di seberang jalan, sementara di seberang jalan lain ada seorang wanita dengan kereta bayinya. Jalan raya hiruk pikuk, padat dengan kendaraan dan lalu lalang orang banyak. Rona kedua wajah orang itu sangat bercahaya dan berseri-seri. Tanpa memperdulikan bahaya tertabrak mobil, laki-laki itu menyeberangi jalan raya dengan lari dan penuh gairah. Setelah sampai, keduanya berpelukan erat sekali, tanpa risih dan


malu pada orang banyak. Kedua mata mereka basah, tetapi tampak sekali cahaya wajah yang gilang gemilang. Kemudian, laki-laki itu memeluk bayi merah, menciumya. Adegan ini sangat indah menawan, tak akan pernah terlukiskan dengan kata-kata bahasa manapun.

Bagi Durant, kebahagiaan adalah “PERJUMPAAN” dengan orang-orang yang dicintai setelah adanya “PERPISAHAN”. Bagi Harom, salah seorang qori’ (pembaca Al Qur’an) gusti Kanjeng Nabi Muhammad shollallaahu alaihi wa sallam, kebahagiaan bukan terletak pada orang yang dicintai. Pada suatu hari, Abu Baro’, pemimpin kaum di Nejed, datang ke Madinah. Kanjeng Nabi mengajaknya untuk memeluk Islam. Dengan halus dia menolak, tetapi ia memohon agar dikirimkan ke kampungnya para da’i untuk mengajarkan pada kaumnya Islam dan baca Al Qur’an.

Tujuh puluh sahabat pilihan dikirim ke Nejed. Di Bir Ma’unah mereka berhenti. Harom mulai berdakwah. Ia menyampaikan dan membaca Al Qur’an yang merdu dengan sangat semangat, ia tidak menyadari kalau kaum Nejed itu sudah mengepungnya. Tiba-tiba tubuhnya tersentak. Dari dadanya muncul tombak,  serpihan daging dan cucuran darah. Harom menyauk daging dan darah itu. Ia dengan senyum BAHAGIA, mengusapkannya ke wajah, seraya berkata : “ Fuzhu wa Robbil Ka’bah” (alangkah bahagianya aku, demi Alloh yang memelihara Ka’bah).

Bagi Harom, “kebahagiaan” terletak dalam kematian karena menegakan keyakinan. Puluhan tahun kemudian Sayyidina Husein,
cucu gusti Kanjeng Nabi kita, bersimbah darah di Padang Karbala. Sebelum maut menjemput, beliau berkata : “Inni la arol mautu illas sa’adah” (Aku tidak melihat kematian kecuali sebagai kebahagiaan).  Bagi Harom dan Sayyidina Husein, kebahagiaan adalah “PERTEMUAN” kembali dengan Alloh Robbul ‘Alamin setelah berpisah dari alam dunia.

Walaupun kecintaan pada keluarga sudah naik ke level atas setelah kecintaan pada benda-benda, tetapi kecintaan seperti itu masih di dataran rendah dunia. Bagi Harom dan Sayyidina Husein, kebahagiaan sudah tidak terletak lagi pada ikatan dunia. Kecintaan mereka sudah ada di dataran tinggi  ruhani. Maka, saudaraku dalam Iman dan Islam, pandangan kebahagian Anda, sesungguhnya mencerminkan tingkat keruhanian Anda.





Pepatah Sunda kolot : “bejakeun ka kaula, naon wae anu ku sia di dahar. Kaula bisa nebak saha sia anu sabeurna” (katakan kepadaku apa yang kamu makan, maka aku bisa menerka kepada Anda siapa Anda sebenarnya). Jika Anda makan dari uang hasil curian, maka Anda sebenarnya adalah monyet yang mencuri pisang. Jika Anda makan dari hasil menipu, Anda adalah BUTA (raksasa Rahwana dalam wayang). Ini bisa berarti, jika Anda meletakan kebahagiaan pada dunia, maka diri Anda tidak lebih dari binatang saja. Tetapi jika Anda meletakan kebahagiaan pada tingkat tinggi ruhani, maka Anda orang yang zuhud.

Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi tidak meletakan dunia di dalam hatinya. Zuhud itu bukan berarti meninggalkan kelezatan dan kenikmatan dunia, tetapi tidak meletakannya pada nilai yang tinggi. Inilah defenisi zuhud sesuai sabda gusti Kanjeng Nabi Muhammad shollallaahu alaihi wa sallam : “Bukanlah zuhud itu mengharamkan yang halal, bukan pula menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud dalam dunia itu ialah engkau tidak memandang apa yang ada di tanganmu itu lebih diandalkan dari apa yang ada di sisi Alloh “ (Kanzul ‘Ummal, Hadits ke-6059).

Apa yang ada di tangan Anda ? Rumah, mobil, perhiasan, uang tunai milayaran, deposito, anak isteri, ladang sawah, buah, anak buah, pengikut, guru, kemahsyuran, kedudukan, status sosial. Duh, saudaraku, jaman akhir ini betapa kita saksikan orang menjadi  kaya karena ia menguasai sumber daya keuangan (atau katakanlah dekat dengan pemegang kucuran dana/orang Bank), sumber daya kekuasaan (atau menyusu pada para pejabat korup) dan menguasai sumber daya alam (dengan keserakahan yang luar biasa). Perhatikan oleh Anda : semuanya akan ditinggalkan, sukarela atau terpaksa. Semuanya hilang, tidak bisa diandalkan.

Lalu apa yang ada di sisi Alloh ? RAHMAT ALLOH yang meliputi segala sesuatu, AMPUNAN ALLOH yang Maha luas, ANUGERAH ALLOH yang tidak terbatas, dan RIDHO ALLOH yang Maha Akbar. “Apa yang ada pada kamu akan musnah, apa yang ada di sisi Alloh abadi” (QS. 16 : 96). Apa yang ada di tangan kita ? Saudaraku, marilah kita mulai hari ini untuk menyimpan kepercayaan kepada Alloh saja. Yang lain hanya “alat” untuk mencapai RIDHO-nya.

Adalah wajar dan sangat manusiawi bila Anda menyukai uang yang dimiliki. Wajar sekali jika kita terikat dengan benda-benda



yang ada pada kita. Itu semua karena kita sejak kecil diajarkan untuk terikat pada hal yang materi, dan itu dibutuhkan sejauh tidak meletakannya pada urutan pertama pada hidup Anda setelah Anda tua atau  dewasa.  Saudaraku, kita akan menjadi seorang zahid apabila sudah memiliki kesungguhan dan sekaligus kesanggupan untuk menukar semua material itu dengan apa yang ada di sisi Alloh. Suatu hari gusti Kanjeng Nabi Muhammad shollallaahu alaihi wa sallam memperoleh sebuah sandal dari sahabatnya. Sandal itu sungguh bagus dan indah, dan pasti harganya mahal. Kanjeng Nabi pun sangat menyukainya, tetapi segera beliau bersujud memohon ampunan Alloh. Lalu, beliau keluar masjid dan memberikan sandal itu kepada seorang fakir miskin yang pertama kali beliau temui.

Jadi seorang zahid adalah orang yang membuang dunia untuk ditukarkan dengan apa yang ada pada Alloh. Zahid ialah orang yang menolak dunia. Apa yang disebut DUNIA  ?

Maulana Majlis, ahli hadits dan ulama besar dari kalangan Ahli Bayt, menulis : “Hendaknya Anda ketahui, bahwa berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, menurut pemahaman kami, “dunia yang terkutuk itu” adalah semua hal yang menghalangi manusia dari mematuhi Alloh dan menjauhkannya dari Kasih-NYA dan Hari Akhirat. Karena itu “dunia” dan “akhirat” merupakan antitesis. Apa saja yang menyebabkan manusia mendapat RIDHO ALLOH  dan mendekatkannya manusia kepada DIA termasuk  “akhirat”, walaupun dalam pandangan orang lain seperti urusan “dunia” seperti perdagangan, pertanian, industri dan kerajinan yang ditunjukan untuk memberikan nafkah kepada keluarga karena mematuhi perintah Alloh, untuk sedekah atau kesejahteraan orang-orang miskin dan melarat atau menghindarkan diri dari ketergantungan kepada orang lain. Semua itu adalah urusan AKHIRAT, walaupun manusia memandangnya sebagai urusan dunia. Sebaliknya, latihan DISIPLIN keruhanian yang bertentangan dengan SUNNAH, walaupun dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan pengabdian, dihitung untuk DUNIA, karena menyebabkan pelakunya terasing dari ALLOH dan tidak membawa manusia lebih dekat kepada-NYA”.







Ulama lain berkata : “Dunia dan Akhirat adalah dua keadaan batiniyyah hati Anda. Yang lebih mendekatkan dan berkaitan dengan kehidupan sebelum mati adalah dunia. Apa-apa yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati adalah Akhirat. Jadi, apa saja yang memberikan kesenangan, kenikmatan dan pemenuhan kepuasan sebelum mati adalah “DUNIA” bagimu”.

Walhasil, orang yang ZUHUD adalah : orang-orang yang hidup di dunia, tetapi tidak meletakan hatinya di dunia. Mereka bekerja di dunia untuk kehidupan di akhirat. “Orang-orang yang zahid adalah mereka yang berada di dunia tetapi tidak mendunia”. Kanu qowman min ahlid-dunya wa laisu min ahliha (Nahjul Balaghoh).





[ BACK ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar